Friday, August 19, 2011

Tangiang Si Ganup Jom

Tangiang Ganup Jom



PENGEMBANGAN AKSARA BATAK

Pada awalnya nenek moyang kita Siraja Batak mengukir aksara Batak untuk dapat menulis bahasa Batak, bukan untuk dapat menulis bahasa-bahasa yang lain. Barangkali pada waktu aksara Batak itu disingahon Siraja Batak, mereka tidak teipikir bahwa masih ada bahasa-bahasa yang lain selain bahasa daerah Batak.
Akan tetapi setelah Siraja Batak marpinompari, mereka menyebar ke desa na uwalu, barulah mereka tahu bahwa sebenarnya masih ada bahasa daerah selain bahasa Batak.
Hal ini setelah datangnya sibontar mata (bangsa asing), kemudian menyusul dengan perang Batak dan perang Padri, barulah terbuka mata para pendahulu kita bahwa sebetulnya masih banyak bahasa-bahasa yang mereka temui di luar Tano Batak.
Kemudian kita merdeka, maka semakin banyak pula pergaulan orang Batak dalam rangka mencari upaya-upaya peningkatan taraf hidup.Mereka bisa sekolah di negeri masing-masing bahkan bisa di luar Tano Batak dan akhirnya bisa ke Batavia.Pengetahuan kita semakin terbuka sehingga selain bahasa Indonesia masih banyak bahasa-bahasa daerah lain dibumi persada kita ini.
Kalau kita melihat bahasa daerah Sunda, Jawa, Bali dan lain-lain, aksara Batak itu hanya bisa menulis bahasa Indonesia selain bahasa Batak. Aksara Batak tidak bisa menulis bahasa Sunda, Jawa, Aceh, Bali dan sebagainya maupun bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman.
Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, sesuai dengan amanat GBHN, maka tokoh-tokoh masyarakat Batak melalui seminar pada tanggal 17 Juli 1988, telah mencoba mengembangkan aksara Batak dari 19 induk huruf menjadi 29 induk huruf.
Dengan demikian, maka bahasa Indonesia akan dapat dituliskan dengan aksara Batak. Surat Batak yang disepakati 17 Juli 1988, dikembangkan oleh masyarakat BatakAngkola-Sipirok-Padang Lawas-Mandailing-Toba-Dairi-Simalungun dan Batak Karo.


Surat Batak
Cara menulis anak ni Surat untuk memperoleh bunyi a,i,u,e dan o pada Induk ni Surat



INDUK SURAT (INA NI SURAT) DENGAN ANAK NI SURAT PADA AKSARA BATAK TOBA



INDUK SURAT (INA NI SURAT) DENGAN ANAK NI SURAT





Wednesday, August 17, 2011

Ulos Batak Toba


“Ulos Batak”, dikenal sebagai Jati diri orang Batak sesuai Budaya dan Adatnya.

Orang Batak sudah dikenal sebagai “Bangso Batak”, kenapa..?
Dahulu sudah memiliki Kerajaan sendiri, Mardebata Mulajadi Nabolon (“pencipta yang maha besar”), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak (“Ringgit Sitio Suara”), uning-uningan namarragam (“musik”), memiliki Budaya Adat, dan mempunyai Hukum.

Namun sekarang ini sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan orang Batak Toba sudah banyak yang tidak mengetahui :
1. Bahasa daerahnya sendiri
2. Dasar dan tahapan tor-tor Batak, sudah banyak yang tidak mengetahuinya, bahkan secara filosofi tidak mempunyai standard
3. Ulos Batak tidak dikenal jenis-jenis dan Fungsinya secara filosofi.
*’ Hal ini terjadi karena seorang penasehat atau pemerhati mengaku pintar, namun menimbulkan kesalapahaman tentang budaya batak yang benar

2 Musa 19 ayat 10:
Dung i didok Jahowa ma tusi Musa laho maho tumopot bangso i jala urasi nasida sadarion dohot marsogot asa ditatap nasida Ulos na.

Jenis dan Fungsi Ulos Batak:

Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil).
Komunitas Tenun Ulos Batak merupakan kelompok masyarakat yang mengerjakan tenun tradisional ulos batak dan salah satunya yang terletak di kota Balige.

1. Beberapa jenis ulos batak yang ada di komunitas tenun ulos adalah: Ulos Jugia : Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau pinusaan”







2. Ulos Ragi Hidup : Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak.


3. Ragi Hotang : Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos Marjabu. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).




4. Ulos Sadum : Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita.




7. Ulos Suri-suri ganjang : Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang.



8. Ulos Mangiring : Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan.





9. Bintang Maratur : Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan.



10. Sitoluntuho-bolean : Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5642778902247136530" />


11. Ulos Jungkit : Ulos ini jenis ulos nanidondang atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut


Sortali





12. Ulos Lobu-lobu : Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak).





Bahan dasar ulos
Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi. Yang membedakan adalah poses pembuatannya yang mempunyai tingkatan tertentu. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos. Misalnya bagi anak dara, yang sedang Helajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” Ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak). Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
1. Proses Pembuatan ulos batak yang sering dilakukan di komunitas ulos batak yaitu: Pembuatan benang : Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”.
2. Pewarnaan : Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki.
3. Gatip : Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard.
4. Unggas : Unggas adalah proses pencerahan benang.
5. Ani : Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”.
6. Tonun : Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos.
7. Sirat : Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. “Manirat” merupakan proses terakhir untuk menjadikan ulos yang utuh.

Ulos Batak Toba
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya kira-kira "Jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.".
Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.

Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat artistik.

Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang non-Batak. Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak sebagai berikut:

1. Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.





2. Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.


3. Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Hela yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.







Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut.

Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.

Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.

Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.